Kamis, 04 Februari 2010

Adia Careira Singgih
“ngapain kamu di.?” Kiki menghampiri Adia dengan penasaran. Habis tuh anak aneh banget, pagi-pagi gini dah nangis aja. Yang ditanya hanya menoleh sebentar sebelum menangis lagi. spontan rteman-temannya segera mengerubunginya.
“kamu kenapa sih di?” tama menanyakan pertanyaan yang ada di pikiran semua anak. Adia menggeleng, “nggak papa kok, gak tau nih tibatiba aja air mataku netes”. Adia menghapus air matanya dan tertawa kecil, “kalian nggak usah pasang muka kayak gitu dong, aku nggak papa kok, bener deh”
“bener ya di.?” Juju memastikan. Adia mengangguk-angguk dan tersenyum meyakinkan. “ya udah, kita duluan ya,” kata ilma. Lagi-lagi Adia mengangguk.
Setelah hanya tersisa Kiki, Tama dan Lui, Adia menangis lagi. nangis kreditan nih, pikir Kiki. “kenapa sih di?” Lui mengulang pertanyaan Tama. Adia memandang ketiga sahabatnya dengan mata sembab, perlahan, Adia menceritakan penyebab dia menangis.

“papa dari mana?” tanya bu Yuni. Pak singgih,yang baru saja pulang sangat terganggu dengan nada pertanyaan istrinya. Terkesan sangat menuntut dan menuduh. Menurut beliau, tidak seharusnya seorang istri bersikap begitu terhadapa suaminya.
“kerja,” jawab Pak Singgih. Ditinggalkannya istrinya dan berjalan menuju ke kamar.
“sejak kapan tempat kerja papa pindah? Emang papa kerja apa sama perempuan itu?” bu Yuni terus menyudutkan suaminya. Baginya, sang suami sekarang sudah sangat berbeda. Perbedaan yang sangat mangganggu bu Yuni. Rasanya telah ada jurang yang begitu dalam di antara mereka.
“mama tuh kenapa sih? Papa baru pulang udah dituduh macem-macem. Mama nggak bisa lihat ya papa capek? Mama kenapa sih bawaannya curiga terus sama papa?” Pak singgih meledak dan menjawab pertanyaan yang diberikan istrinya dengan pertanyaan. Bu Yuni yang tidak menyangka Pak Singgih akan berbalik marah.
Adia yang hendak mengambil air minum di dapur jadi urung melangkahkan kakinya. Telinganya gerah sekali mendengar mama-papanya terus-terusan ribut. Apa mereka tidak ingat di sini ada anak-anak mereka? Apa mereka nggak inget kalo mereka selalu marah-marah tiap melihat dia dan kak Ardian bertengkar. Aah, rasanya air matanya bisa jatuh sekarang juga.
Adia membatalkan niatnya untuk mengambil minuman dan berbalik menuju kamar kakaknya. Dilihatnya sang kakak sedang sibuk dengan hp barunya. Adia duduk di sebelah kakaknya dalam diam. Di samping kakaknya seperti ini membuat air mata Adia tidak dapat tertahan lagi. “wes ta Ra, gak usah nangis. Ojok cengeng”, kata kakaknya. Tapi Adia tidak peduli. Dia cuma ingin menangis. Biarlah ia dianggap cengeng, yang penting dada ini sudah tidak sesak lagi.

“sabar ya di,” Lui mengusap punggung Adia, menenangkannya.
“di, kamu pernah kepikiran nggak sih?” tanya Kiki. “kamu bisa nangis kayak gini, bisa curhat ama temenmu, yah, emang sih kita nggak bisa bantu, tapi paling nggak bebanmu sudah sedikit terangkat kan?” lanjutnya. Adia hanya mengangguk-angguk. Airmatanya sudah tidak mengalir lagi. “terus, kakakmu curhatnya ama siapa di? Dia nggak mungkin nangis ke temennya kayak kamu gini kan? Menurutmu, dia buang rasa sesaknya itu ke mana?”
Adia bengong sebentar. “iya ya ki, kakakku curhatnya ke siapa ya?”
“berarti di, kamu harus ngertiin kakakmu juga kan? Kalo dia bisa dengerin kamu cerita, kamu juga harus dengerin dia cerita kan? Daripada dia ngelkuin hal-hal yang enggak-enggak kalo sumpek? Ya kan?”adia mengangguk-angguk mendengar petuah tama, dia juga nampak berpikir (agak) keras.

Well, semoga hari esok lebih baik untuk kami semua, semoga kami dapat menghargai hidup kami sekarang dan bisa berbahagia dengan hidup kami yang seperti ini. Semoga kami selalu ingat, bahwa setelah ada hujan, matahari akan bersinar terang hingga tercipta pelangi. Semoga kehidupan kami sekarang dapat menjadi kekuatan masa depan kami.

0 comments:

Posting Komentar