“Mas, saya mau cari
kamera digital, yang paling bagus berapa ya?” Siang itu Kay mengunjungi sebuah
toko kamera demi membeli kamera digital yang akan mendongkrak status sosialnya.
Bagi Kay, memiliki kamera berarti meningkatkan derajatnya di depan
teman-temannya. Cukup sudah ia dihina dina karena hanya memiliki kamera analaog
murahan saat darma wisata. Ia sudah menabung semua uang jajannya selama dua
tahun dan memutuskan untuk membawa bekal atau menyantap makanan orang lain demi
mewujudkan mimpinya yang mulia.
Sang pramuniaga
memamerkan beberapa kamera digital mulai dari compact digital sampai
professional DSLR. Kay memandang setiap kamera dengan seksama hingga akhirnya
menunjuk sebuah kamera DSLR. “Yang ini berapa mas?” sang pramuniaga menyebutkan
harga. Kay manggut-manggut setelah mengetahui harganya.
“Yang paling bagus,
gampang digunain, nggak gampang rusak dan murah yang mana mas?” Kay
memberondong sang pramunaga dengan pertanyaan. Suara tawa terdengar dari sisi
kirinya yang kemudian disusul dengan cengiran dari si pramuniaga. Kay menoleh
untuk melihat siapa yang sudah berani-beraninya menertawakan dirinya di tengah
misi penting ini.
“Mana ada kamera
seperti itu? Kalo kamu mau yang seperti itu buat aja sendiri, hahahaa” pria di
depan Kay ini terus saja tertawa. Kay memerhatikan orang itu dari atas
sampai bawah. Tidak ada yang salah dengan penampilannya, semua tampak normal.
Pandangan Kay beralih ke kamera yang dipegang orang itu. Si empunya kamera
mengikuti arah pandangan Kay.
“Perkenalkan, namanya
Sinta” orang itu mengacungkan kameranya sambil cengar-cengir. Kay melengos dan kembali
memfokuskan perhatiannya ke arah kamera-kamera di atas etalase. Ia menjulurkan
kepalanya untuk mencari pramuniaga yang malah menghilang di saat penting ini.
Tapi sepertinya si orang rese itu masih ingin mengusiknya karena detik
berikutnya suaranya kembali terdengar.
“Kenapa kamu mau beli
kamera?” Kay menoleh buas ke arah cowok itu. “Buat motret lah!” serunya emosi.
“Kenapa harus cari
yang digital? Kamera analog banyak yang murah kan? Hasilnya juga nggak kalah
bagus, malah seringnya lebih bagus.” Terangnya sembari mengelap lensa si Sinta.
“Kamera analog kan
nggak praktis, harus nyetak foto dulu, mana kalo hasil fotonya jelek nggak bisa
langsung dihapus pula. Menuh-menuhin film aja” jawab Kay emosi. Cowok itu malah
tersenyum pada Kay.
“Kenapa harus
dihapus?” tanyanya. Kay mengerutkan kening.
“Buat apa nyimpen foto
yang nggak bagus?” serangnya balik.
“Buat belajar.” Jawab
cowok itu mantap. Fay gelagapan. “Sena” lanjutnya. Kay bengong seketika.
“Namaku Sena”
“Siapa yang nanya?”
Kay kekeuh mempertahankan kesewotannya.
“Namamu?” Sena tidak
menggubris kesewotan Kay sama sekali. Kay cuma diam menolak untuk memberikan
jawaban. Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bersuara di ruangan itu. Kay
menghentak-hentakkan kakinya kesal karena pramuniaga tak kunjung kembali.
“Menurutmu, setelah
kita hapus foto yang kita ambil, adegan saat kita mengambil foto itu juga akan
ikut terhapus?” lagi-lagi Sena usil itu bersuara. “Walaupun foto yang jelek
bisa dihapus, fakta kalau kita pernah mengambil gambar dengan jelek tidak akan
pernah ikut terhapus kan? Sama seperti kehidupan ini, seberapa besar pun
keinginan kita untuk menghapus kejadian buruk yang sudah terjadi kita nggak
akan pernah bisa melakukannya.” Sena terdiam beberapa saat. “Kalau ingat itu, rasanya kamera analog jadi lebih realistis kan?” Kay
mati kutu. “Justru karena kita tahu berapa banyak foto jelek yang kita ambil,
mahalnya rol film yang harus kita pakai dan proses mencetak yang membutuhkan
kehati-hatian ekstra, maka kita akan lebih menghargai hasil karya kita.” Kay
terdiam. Sena juga sepertinya tidak ingin melanjutkan percakapan dan sepenuhnya
memfokuskan perhatian pada Sintanya. Pramuniaga sudah keluar dari persembunyiannya tapi tatapan Kay
masih tertuju pada Sena.
“Kay” suara Kay
terdengar parau. Sena menoleh ke arahnya dan tersenyum bersamaan dengan jarinya
yang memencet tombol kamera mengabadikan sosok Kay.
0 comments:
Posting Komentar