Reta melompat kecil menghindari lubang yang
hampir saja membuatnya terperosok. Ingin rasanya ia meneriaki Kay yang tidak
memberikan peringatan padanya meski Kay pasti sudah melihat lubang itu, namun mengingat situasi saat ini,
Reta menelan teriakannya sekuat tenaga. Tiba-tiba Kay menoleh padanya dan
tersenyum jahil. Sengaja, begitulah
gerakan mulut yang ditunjukkannya pada Reta sebelum kembali berjalan.
“Gyaaaa!!!!” jerit Reta frustasi.
“Lama tak jumpa” sang
pemilik suara tersenyum. Kay hanya menatapnya canggung. Sungguh ia senang
sekali karena ia bertemu dengan orang yang bisa memberikannya petunjuk tentang
Sena, tapi ia sama sekali lupa nama orang di hadapannya ini. Kay ingat sekali
kalau orang di hadapannya ini adalah pramuniaga dari toko kamera yang beberapa
hari lalu ia datangi. Dulu Kay dan Sena sering datang ke sana dan saat itu
orang inilah yang menjadi pramuniaga. Tapi Kay tidak mungkin memanggilnya
dengan ‘Tuan Pramuniaga’ kan? Jadi Kay pun memutuskan untuk mempertahankan pose
diamnya. Demi melihat Kay yang sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata dan
terus menatapnya dengan pandangan canggung,sang pramuniaga berkata, “Kau lupa
namaku ya?” Kay nyengir bersalah.
“Sena selalu
memanggilku Len sebagai kependekan dari Lensa, tapi namaku Ben” terangnya. Kay
mengangguk, Sena memang kurang ajar, ia suka sekali mengganti nama orang lain
menjadi bagian-bagian kamera. Untung saja Kay segera menghajarnya waktu ia
berusaha mengganti nama Kay menjadi shutter
atau diafragma.
“Sepertinya belakangan
ini aku sering melihatmu berdiri di depan toko?” tanya Ben. Kay membenarkan
pertanyaan Ben dalam diam. Entah kenapa setiap kali ia ke luar rumah kakinya
selalu membawanya ke toko kamera itu. Anehnya kakinya itu selalu berhenti
melangkah, tak mau bergerak lebih jauh memasuki toko, jadi Kay hanya memandang
toko itu kosong dari seberang jalan.
Ben menghela nafas
perlahan. “Maaf, aku selalu kehilangan kesempatan untuk menyapamu. Kau mencari
Sena?” Kay tidak bisa menjelaskan kenapa, mungkin karena ekspresi Ben yang
mendadak berubah, atau mungkin karena ia tidak siap dengan semuanya, ketakutan
terbesarnya akan kenyataan yang buruk, rasanya ia ingin menutup telinganya
rapat-rapat saat Ben kemudian duduk di sebelahnya. Kata-kata Ben selanjutnya
seolah terbang bersama angin.
Kay berjongkok sembari mencabut beberapa
rumput. “Lama tak jumpa” sapanya tanpa menghentikan aktivitasnya. Pandangan
mata Kay sekarang beralih pada nisan di hadapannya. Sebuah senyum mengembang di
bibirnya. “Dasar bodoh!” pandangan mata Kay mulai kabur. “Memangnya semua
ilmumu sudah kau ajarkan sampai kau berani pergi?” suara Kay terdengar parau.
Tidak butuh waktu lama sampai pertahanannya rubuh dan ia mulai terisak. Reta
hanya berdiri dalam diam, merasakan bulir-bulir hangat turut membasahi pipinya.
“Dia bilang sebelum
dia pergi dia harus menemukan orang yang akan meneruskan jejaknya” Kay tertawa
jengah. “Dia senang sekali bertemu denganmu, dia bilang semangat belajarmu
tinggi dan daya tangkap serta instingmu bagus” Ben terus berbicara. “Dia bilang
rasanya dia tidak ingin pergi. Dia ingin terus melihatmu berkembang. Dia bahkan
melanjutkan terapi yang sempat ia hentikan.” Ben tersenyum memandang Kay, “Tahu
nggak? Sena nggak pernah membiarkan orang lain menyentuh Sintanya kecuali
kamu.” Kay menatap Ben dengan pandangan bertanya tapi mulutnya tetap terkunci
rapat. Ben mengangguk-angguk, “Aku kaget sekali karena pada akhirnya ia
memberikan Sinta padamu. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Tapi waktu kukatakan
kekagetanku dia cuma tertawa dan bilang kalau Sinta ada pada orang yang tepat
dan Sinta itu tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang sudah kamu berikan
padanya”
“Reta..”
“Hmm?” Reta menghapus air mata di pipinya. Dilihatnya
Kay tersenyum ke arahnya, juga sudah berhenti menangis.
“Ini Sena, orang yang sudah membuatku
tergila-gila pada kamera analog” Kay menarik Reta untuk duduk di sebelahnya.
Reta tersenyum. "Sena juga yang ngasih aku si Sinta"
“Jadi kamu orang yang sudah menjadikan Kay
manusia analog di zaman modern ini?” tanya Reta dengan nada menyalahkan. Kay
tertawa kecil mendengar pertanyaan Reta.
“Terima kasih Sena karena sudah mengajarkanku
banyak hal. Seperti yang pernah kamu bilang, kita nggak mungkin menghapus suatu
kejadian di masa lalu seberapa pun kita ingin menghapusnya, karena itu, aku
juga nggak akan menghapus kenangan tentang kamu. Aku akan mengingatmu seperti
rol film yang mengabadikan citra yang kita ambil. Terima kasih Sena, aku
sungguh senang bertemu denganmu.” Kay mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan
mengeluarkan sebuah foto yang diambilnya setahun lalu. Foto yang pertama kali
diambilnya menggunakan kamera analog. Kay perlahan meletakkan foto itu di atas
tanah. “Meski citra ini tidak sempurna dan kabur, citramu dalam ingatanku tidak
akan pernah kabur.” Kay memberikan senyum terbaiknya sebelum kemudian bangkit
diikuti Reta.
“Mau ke mana kita?” tanya Reta sambil
bergelayut manja pada Kay. Ia tidak mungkin mengatakannya, tapi ia bangga
sekali pada Kay yang begitu tegar menghadapi situasi ini.
“Ke toko Ben, dia bilang Sena meninggalkan alat
cuci film dan panduannya untukku di sana. Sena bilang aku harus belajar mencuci
filmku sendiri dan menghasilkan banyak foto hebat di masa depan.” Aku pasti akan melebihi kamu Sen! Lihat saja!
0 comments:
Posting Komentar