Jumat, 02 Agustus 2013

Citra yang Tidak Sempurna : Akhirnya Kita Bertemu

Reta melompat kecil menghindari lubang yang hampir saja membuatnya terperosok. Ingin rasanya ia meneriaki Kay yang tidak memberikan peringatan padanya meski Kay pasti sudah melihat lubang itu, namun mengingat situasi saat ini, Reta menelan teriakannya sekuat tenaga. Tiba-tiba Kay menoleh padanya dan tersenyum jahil. Sengaja, begitulah gerakan mulut yang ditunjukkannya pada Reta sebelum kembali berjalan.

“Gyaaaa!!!!” jerit Reta frustasi.



“Lama tak jumpa” sang pemilik suara tersenyum. Kay hanya menatapnya canggung. Sungguh ia senang sekali karena ia bertemu dengan orang yang bisa memberikannya petunjuk tentang Sena, tapi ia sama sekali lupa nama orang di hadapannya ini. Kay ingat sekali kalau orang di hadapannya ini adalah pramuniaga dari toko kamera yang beberapa hari lalu ia datangi. Dulu Kay dan Sena sering datang ke sana dan saat itu orang inilah yang menjadi pramuniaga. Tapi Kay tidak mungkin memanggilnya dengan ‘Tuan Pramuniaga’ kan? Jadi Kay pun memutuskan untuk mempertahankan pose diamnya. Demi melihat Kay yang sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata dan terus menatapnya dengan pandangan canggung,sang pramuniaga berkata, “Kau lupa namaku ya?” Kay nyengir bersalah.

“Sena selalu memanggilku Len sebagai kependekan dari Lensa, tapi namaku Ben” terangnya. Kay mengangguk, Sena memang kurang ajar, ia suka sekali mengganti nama orang lain menjadi bagian-bagian kamera. Untung saja Kay segera menghajarnya waktu ia berusaha mengganti nama Kay menjadi shutter atau diafragma.

“Sepertinya belakangan ini aku sering melihatmu berdiri di depan toko?” tanya Ben. Kay membenarkan pertanyaan Ben dalam diam. Entah kenapa setiap kali ia ke luar rumah kakinya selalu membawanya ke toko kamera itu. Anehnya kakinya itu selalu berhenti melangkah, tak mau bergerak lebih jauh memasuki toko, jadi Kay hanya memandang toko itu kosong dari seberang jalan.

Ben menghela nafas perlahan. “Maaf, aku selalu kehilangan kesempatan untuk menyapamu. Kau mencari Sena?” Kay tidak bisa menjelaskan kenapa, mungkin karena ekspresi Ben yang mendadak berubah, atau mungkin karena ia tidak siap dengan semuanya, ketakutan terbesarnya akan kenyataan yang buruk, rasanya ia ingin menutup telinganya rapat-rapat saat Ben kemudian duduk di sebelahnya. Kata-kata Ben selanjutnya seolah terbang bersama angin.


Kay berjongkok sembari mencabut beberapa rumput. “Lama tak jumpa” sapanya tanpa menghentikan aktivitasnya. Pandangan mata Kay sekarang beralih pada nisan di hadapannya. Sebuah senyum mengembang di bibirnya. “Dasar bodoh!” pandangan mata Kay mulai kabur. “Memangnya semua ilmumu sudah kau ajarkan sampai kau berani pergi?” suara Kay terdengar parau. Tidak butuh waktu lama sampai pertahanannya rubuh dan ia mulai terisak. Reta hanya berdiri dalam diam, merasakan bulir-bulir hangat turut membasahi pipinya.


“Dia bilang sebelum dia pergi dia harus menemukan orang yang akan meneruskan jejaknya” Kay tertawa jengah. “Dia senang sekali bertemu denganmu, dia bilang semangat belajarmu tinggi dan daya tangkap serta instingmu bagus” Ben terus berbicara. “Dia bilang rasanya dia tidak ingin pergi. Dia ingin terus melihatmu berkembang. Dia bahkan melanjutkan terapi yang sempat ia hentikan.” Ben tersenyum memandang Kay, “Tahu nggak? Sena nggak pernah membiarkan orang lain menyentuh Sintanya kecuali kamu.” Kay menatap Ben dengan pandangan bertanya tapi mulutnya tetap terkunci rapat. Ben mengangguk-angguk, “Aku kaget sekali karena pada akhirnya ia memberikan Sinta padamu. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Tapi waktu kukatakan kekagetanku dia cuma tertawa dan bilang kalau Sinta ada pada orang yang tepat dan Sinta itu tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang sudah kamu berikan padanya”


“Reta..”

“Hmm?” Reta menghapus air mata di pipinya. Dilihatnya Kay tersenyum ke arahnya, juga sudah berhenti menangis.

“Ini Sena, orang yang sudah membuatku tergila-gila pada kamera analog” Kay menarik Reta untuk duduk di sebelahnya. Reta tersenyum. "Sena juga yang ngasih aku si Sinta"

“Jadi kamu orang yang sudah menjadikan Kay manusia analog di zaman modern ini?” tanya Reta dengan nada menyalahkan. Kay tertawa kecil mendengar pertanyaan Reta.

“Terima kasih Sena karena sudah mengajarkanku banyak hal. Seperti yang pernah kamu bilang, kita nggak mungkin menghapus suatu kejadian di masa lalu seberapa pun kita ingin menghapusnya, karena itu, aku juga nggak akan menghapus kenangan tentang kamu. Aku akan mengingatmu seperti rol film yang mengabadikan citra yang kita ambil. Terima kasih Sena, aku sungguh senang bertemu denganmu.” Kay mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan mengeluarkan sebuah foto yang diambilnya setahun lalu. Foto yang pertama kali diambilnya menggunakan kamera analog. Kay perlahan meletakkan foto itu di atas tanah. “Meski citra ini tidak sempurna dan kabur, citramu dalam ingatanku tidak akan pernah kabur.” Kay memberikan senyum terbaiknya sebelum kemudian bangkit diikuti Reta.

“Mau ke mana kita?” tanya Reta sambil bergelayut manja pada Kay. Ia tidak mungkin mengatakannya, tapi ia bangga sekali pada Kay yang begitu tegar menghadapi situasi ini.

“Ke toko Ben, dia bilang Sena meninggalkan alat cuci film dan panduannya untukku di sana. Sena bilang aku harus belajar mencuci filmku sendiri dan menghasilkan banyak foto hebat di masa depan.” Aku pasti akan melebihi kamu Sen! Lihat saja!

0 comments:

Posting Komentar