Kamis, 18 Juli 2013

Citra yang Tidak Sempurna : I'm Looking for You

“Kaay, jangan cepet-cepet dong jalannya...” Reta bersusah payah mengatur nafasnya sementara yang dikejar malah tidak menggubrisnya sama sekali dan makin mempercepat jalannya hingga sekarang sudah berada di tempat tujuannya.

“Oh, akhirnya kamu datang Kay, aku kan sudah bilang hari ini kami akan tutup lebih awal, semua jadi berantakan gara-gara kamu.” Kay tertawa melihat pemuda di depannya yang sedang kesal. “Maaf deh, aku sudah datang kan sekarang?” Edo melengos mengingat kejengkelannya pada Kay diabaikan begitu saja hingga memilih bergegas mengambilkan amplop coklat seukuran f4 pada Kay.

“Thank you” Kay mengangsurkan uangnya dan segera keluar demi melihat Reta yang manyun. Alamat bakal disemprot nih.

“Retaaaa, aku kan udah suruh kamu nungguin kenapa malah ditinggaaaal?!!” Reta masih saja sempat mengeluarkan emosi yang menggebu-nggebu di tengah kesulitannya mengambil nafas.

Kay Cuma bisa nyengir. “Kan aku sudah bilang aku buru-buru, nggak ada waktu lain buat mengambil ini.” Kay mengacungkan amplop cokelatnya.

“Heeh, lagian kenapa sih mau pulang ke rumah sendiri aja pake harus nyetak foto dulu? Kayak nggak bisa nyetak di sana aja” Reta masih saja nggondok.

“Aku nggak tahu tempat yang bagus buat nyetak foto-foto ini di sana. Sayang kan kalo foto jadinya nanti jelek” Kay berargumen.

“Lagian kamu juga sih, hari gini masih aja pake kamera analog, jadi nggak praktis kan.” Kay Cuma tersenyum mendengar ocehan Reta. Setahun yang lalu juga dirinya berpendapat sama dengan Reta, tapi sekarang ia merasa kamera analog adalah kamera terbaik.

“Yee, malah senyum-senyum sendiri nih anak.”

“Bawel ah, kamera analog itu justru menarik karena nggak praktis tauk.” timpal Kay. “Ketemuan di pintu gerbang sejam lagi yaa” lanjutnya sembari memasuki kamar kosnya meninggalkan Reta yang cuma bisa mengurut dada.

 ***

Kay melangkahkan kaki menyusuri jalanan yang siang ini sepi. Ia baru saja sampai di kota ini, namun ia sudah tak sabar untuk mengunjungi suatu tempat hingga ia mengabaikan ibunya yang menyuruhnya makan dan meninggalkan Reta bersama Aska, keponakan usilnya, yang penuh rasa ingin tahu terhadap Reta. Aah, untung saja dalam setahun tidak ada yang berubah. Kay menarik nafas dalam-dalam. Seorang anak laki-laki yang sedang menolong anak perempuan yang lebih kecil darinya berlatih sepeda menarik perhatian Kay hingga ia pun mengarahkan lensanya ke mereka. Pemandangan yang bagus, semoga aku menangkapnya dengan bagus juga, Kay mengelus sayang kameranya. Kay pun melanjutkan langkahnya dengan menarik nafas lebih dalam seolah-olah ia sudah lama tidak melakukannya. Sesekali ia mengambil gambar akan keadaan di sekelilingnya seperti saat melilhat kedua anak kecil tadi.

Dengan irama kaki yang lebih riang, Kay berbelok sebelum beberapa saat kemudian memasuki sebuah toko kamera. “Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” seorang penjaga toko menyapa Kay ramah. Kay tersenyum padanya.

“Saya mencari Sena” jawab Kay tak kalah ramah. Penjaga toko itu menatap Kay bingung. “Maaf, di sini tidak ada yang bernama Sena.” Kay menelengkan kepalanya. Sang penjaga toko menatap Kay dengan ekspresi yang sama menunjukkan ia tidak berpura-pura. Kay mengangsurkan selembar foto yang agak kabur pada penjaga itu.

“Saya tidak pernah melihatnya” katanya.

“Maaf, apakah Anda baru bekerja di sini?”

“Saya mulai bekerja kira-kira lima bulan yang lalu.” Kay terdiam. Pikirannya buntu memikirkan bahwa ia mungkin pulang untuk hal yang sia-sia. Kay menganggukkan kepalanya berpamitan kepada sang penjaga sebelum berjalan limbung keluar dari toko. Dipandanginya foto yang tadi ia tunjukkan kepada penjaga toko. Sebuah foto yang tidak sempurna. Objek di foto itu memandangnya dengan mata menyipit karena tawa.

“Huahahahaa. Kenapa kamu takut sekali memegang kamera itu? Ia tidak akan menggigitmu, langsung saja pencet tombolnya”
“Tapi kalo hasilnya jelek kan buang-buang film”
“Huahahahaa. Dasar anak polos, memangnya kamu pikir kamu bakal bisa memotret dengan baik tanpa pernah membuang film? Bahkan kameraman professional sekalipun pasti pernah membuang film” Kay memandang orang di depannya yang tidak kunjung menghentikan tawanya. Karena kesal, ia jadi mengarahkan kameranya pada orang itu dan memotretnya dengan harapan orang itu akan berhenti menertawakannya karena setidaknya Kay sudah memotret satu objek.

Klik!”

0 comments:

Posting Komentar