“Kaay,
jangan cepet-cepet dong jalannya...” Reta bersusah payah mengatur nafasnya
sementara yang dikejar malah tidak menggubrisnya sama sekali dan makin mempercepat jalannya hingga sekarang sudah berada di tempat tujuannya.
“Oh,
akhirnya kamu datang Kay, aku kan sudah bilang hari ini kami akan tutup lebih
awal, semua jadi berantakan gara-gara kamu.” Kay tertawa melihat pemuda di
depannya yang sedang kesal. “Maaf deh, aku sudah datang kan sekarang?” Edo
melengos mengingat kejengkelannya pada Kay diabaikan begitu saja hingga memilih bergegas
mengambilkan amplop coklat seukuran f4 pada Kay.
“Thank you”
Kay mengangsurkan uangnya dan segera keluar demi melihat Reta yang manyun. Alamat bakal disemprot nih.
“Retaaaa,
aku kan udah suruh kamu nungguin kenapa malah ditinggaaaal?!!” Reta masih saja
sempat mengeluarkan emosi yang menggebu-nggebu di tengah kesulitannya mengambil
nafas.
Kay Cuma
bisa nyengir. “Kan aku sudah bilang aku buru-buru, nggak ada waktu lain buat
mengambil ini.” Kay mengacungkan amplop cokelatnya.
“Heeh, lagian
kenapa sih mau pulang ke rumah sendiri aja pake harus nyetak foto dulu? Kayak
nggak bisa nyetak di sana aja” Reta masih saja nggondok.
“Aku nggak
tahu tempat yang bagus buat nyetak foto-foto ini di sana. Sayang kan kalo foto
jadinya nanti jelek” Kay berargumen.
“Lagian
kamu juga sih, hari gini masih aja pake kamera analog, jadi nggak praktis kan.”
Kay Cuma tersenyum mendengar ocehan Reta. Setahun yang lalu juga dirinya
berpendapat sama dengan Reta, tapi sekarang ia merasa kamera analog adalah
kamera terbaik.
“Yee, malah
senyum-senyum sendiri nih anak.”
“Bawel ah, kamera analog itu justru menarik karena nggak praktis tauk.”
timpal Kay. “Ketemuan di pintu gerbang sejam lagi yaa” lanjutnya sembari
memasuki kamar kosnya meninggalkan Reta yang cuma bisa mengurut dada.
***
Kay
melangkahkan kaki menyusuri jalanan yang siang ini sepi. Ia baru saja sampai di
kota ini, namun ia sudah tak sabar untuk mengunjungi suatu tempat hingga ia
mengabaikan ibunya yang menyuruhnya makan dan meninggalkan Reta bersama Aska,
keponakan usilnya, yang penuh rasa ingin tahu terhadap Reta. Aah, untung saja dalam setahun tidak ada
yang berubah. Kay menarik nafas dalam-dalam. Seorang anak laki-laki yang
sedang menolong anak perempuan yang lebih kecil darinya berlatih sepeda menarik
perhatian Kay hingga ia pun mengarahkan lensanya ke mereka. Pemandangan yang bagus, semoga aku
menangkapnya dengan bagus juga, Kay mengelus sayang kameranya. Kay pun melanjutkan
langkahnya dengan menarik nafas lebih dalam seolah-olah ia sudah lama tidak
melakukannya. Sesekali ia mengambil gambar akan keadaan di sekelilingnya
seperti saat melilhat kedua anak kecil tadi.
Dengan
irama kaki yang lebih riang, Kay berbelok sebelum beberapa saat kemudian
memasuki sebuah toko kamera. “Selamat
siang, ada yang bisa kami bantu?” seorang penjaga toko menyapa Kay ramah. Kay tersenyum
padanya.
“Saya
mencari Sena” jawab Kay tak kalah ramah. Penjaga toko itu menatap Kay bingung.
“Maaf, di sini tidak ada yang bernama Sena.” Kay menelengkan kepalanya. Sang penjaga
toko menatap Kay dengan ekspresi yang sama menunjukkan ia tidak berpura-pura.
Kay mengangsurkan selembar foto yang agak kabur pada penjaga itu.
“Saya tidak
pernah melihatnya” katanya.
“Maaf,
apakah Anda baru bekerja di sini?”
“Saya mulai
bekerja kira-kira lima bulan yang lalu.” Kay terdiam. Pikirannya buntu
memikirkan bahwa ia mungkin pulang untuk hal yang sia-sia. Kay menganggukkan
kepalanya berpamitan kepada sang penjaga sebelum berjalan limbung keluar dari
toko. Dipandanginya foto yang tadi ia tunjukkan kepada penjaga toko. Sebuah
foto yang tidak sempurna. Objek di foto itu memandangnya dengan mata menyipit
karena tawa.
“Huahahahaa. Kenapa kamu takut sekali memegang
kamera itu? Ia tidak akan menggigitmu, langsung saja pencet tombolnya”
“Tapi kalo hasilnya jelek kan buang-buang film”
“Huahahahaa. Dasar anak polos, memangnya kamu
pikir kamu bakal bisa memotret dengan baik tanpa pernah membuang film? Bahkan
kameraman professional sekalipun pasti pernah membuang film” Kay
memandang orang di depannya yang tidak kunjung menghentikan tawanya. Karena
kesal, ia jadi mengarahkan kameranya pada orang itu dan memotretnya dengan
harapan orang itu akan berhenti menertawakannya karena setidaknya Kay sudah memotret satu
objek.
“Klik!”
0 comments:
Posting Komentar