Jumat, 28 November 2014

Memories : I Hate It!


“Apa ada yang kau inginkan? Aku akan memberikannya untukmu.” 

Jun terbangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling ruang tamu tempat ia tidur dan terdiam. Hari ini pun tidak ada yang berubah. Tidak kondisi ruang tamu, tidak mimpinya, tidak juga ingatannya. Jun bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Meskipun ia tahu air hanya akan memberinya kesegaran sesaat, tapi itu akan sedikit mengurangi efek dari mimpinya. Jun menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi yang sudah tidak berbentuk. Tangannya bergerak melepas cermin dari dinding dan melemparkannya ke tempat sampah.

Telepon genggam Jun berdering tepat saat ia keluar dari kamar mandi. Ia tidak repot-repot melihat siapa yang meneleponnya karena hanya ada satu orang di dunia ini yang tahu nomornya. Orang lain akan diberinya nomor telepon palsu atau ia menyuruh mereka menghubunginya lewat email bila ada hal penting. 

“Juun, kenapa lama sekalii?” suara cempreng si penelepon membuat Jun merasa ia sedang mendengar suara kembang api. “Kakak sudah bosan menunggu di siniii” rengek kakak Jun dari kejauhan.

Jun melengos. “Pesawat kakak baru saja sampai 2 menit lalu, bagaimana mungkin bisa bosan?”

“Cepat ke sini Jun, kalau tidak kakak akan menelepon pemadam kebakaran agar mereka menjemputmu dan membawamu ke sini.” Sahut kakaknya mengabaikan pertanyaan Jun.

Jun mengernyit. Ide menelepon pemadam kebakaran itu tidak buruk juga. Ia pasti akan lebih cepat sampai di bandara karena orang-orang akan memberi jalan begitu mendengar bunyi sirine. Seperti bertahun-tahun lalu ketika ambulance melesat cepat membawanya melewati jalanan yang ramai, menyingkirkan mobil-mobil pribadi yang memenuhi jalan. Jun tersenyum getir. Peristiwa itu begitu menancap di ingatannya seolah baru terjadi kemarin. Jun menutup matanya rapat-rapat. Berharap dengan begitu, semua ingatannya akan hilang. Ia melempar teleponnya pelan ke atas sofa dan bersiap menjemput kakaknya.

***

“Haa, akhirnya sampai jugaaa.” Ange meregangkan tangannya tinggi-tinggi ke atas begitu sampai di depan rumah, membiarkan Jun mengangkat semua barangnya dengan muka kecut. Ange melangkah ke dalam. Dilihatnya setiap sudut rumah begitu rapi kecuali ruang tamu  dan dapur. Ange melongok kemudian termenung di depan kamar Jun.

“Jangan buka-buka kamar orang sembarangan” Jun tiba-tiba muncul dari belakang Ange dan menutup pintu kamarnya cepat.

“Kenapa? Apa ada barang-barang 19+ disana?” goda Ange. Jun hanya melengos dan melangkahkan kaki ke ruang tamu.

“Aku lapaar” rengek Ange sembari duduk di samping Jun. Jun menatapnya dengan tatapan malas.

“Kakak sedang makan ketika aku sampai di bandara” katanya datar. Ange mengacuhkan perkataan adiknya, matanya menelusuri satu persatu brosur makanan yang tersebar di meja. “Jun mau makan apa?” tanya Ange. Jun hanya menggeleng. “Okee, awas kalau nanti minta bagianku.” Ange bangkit dari sofa bersiap pergi. Jun memandangnya heran.

“Nggak delivery?” tanyanya. Ange hanya menjawab pertanyaan Jun dengan tatapan dan senyum seadanya. Jun langsung paham tujuan Ange sebenarnya. Ia pun memilih menyibukkan diri dengan televisi yang sedari tadi menyala.

“Kakak pergi dulu” pamit Ange sembari mengacak rambut Jun sayang.

“Hemm”

***

“Hei Jun, ayo kita pergi. Aku sudah lama tidak ke taman hiburan. Ayo bawa aku ke taman hiburan paling bagus saat ini”

“Apa yang kau lakukan pada anakku?”
               
Jun memandang awan yang nampak di luar jendela dengan tatapan kosong. Di saat seperti ini ia merasa bahwa memiliki ingatan yang sangat baik adalah musibah. Jun melengos sebelum kemudian mengalihkan pandangannya ke buku yang terbuka di atas meja. Buku Ange yang diwariskan padanya. Buku kedokteran. Buku impiannya. Tapi impiannya sekarang sudah tidak ada artinya. Jun menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua tangannya. Aah, kenapa bukan aku yang mati? Dasar sial.

0 comments:

Posting Komentar