“Apa ada yang kau inginkan? Aku akan
memberikannya untukmu.”
Jun
terbangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling ruang tamu tempat ia tidur dan
terdiam. Hari ini pun tidak ada yang berubah. Tidak kondisi ruang tamu, tidak
mimpinya, tidak juga ingatannya. Jun bangkit dan berjalan ke kamar mandi.
Meskipun ia tahu air hanya akan memberinya kesegaran sesaat, tapi itu akan
sedikit mengurangi efek dari mimpinya. Jun menatap pantulan dirinya di cermin
kamar mandi yang sudah tidak berbentuk. Tangannya bergerak melepas cermin dari
dinding dan melemparkannya ke tempat sampah.
Telepon
genggam Jun berdering tepat saat ia keluar dari kamar mandi. Ia tidak
repot-repot melihat siapa yang meneleponnya karena hanya ada satu orang di
dunia ini yang tahu nomornya. Orang lain akan diberinya nomor telepon palsu
atau ia menyuruh mereka menghubunginya lewat email bila ada hal penting.
“Juun,
kenapa lama sekalii?” suara cempreng si penelepon membuat Jun merasa ia sedang
mendengar suara kembang api. “Kakak sudah bosan menunggu di siniii” rengek
kakak Jun dari kejauhan.
Jun
melengos. “Pesawat kakak baru saja sampai 2 menit lalu, bagaimana mungkin bisa
bosan?”
“Cepat
ke sini Jun, kalau tidak kakak akan menelepon pemadam kebakaran agar mereka
menjemputmu dan membawamu ke sini.” Sahut kakaknya mengabaikan pertanyaan Jun.
Jun
mengernyit. Ide menelepon pemadam kebakaran itu tidak buruk juga. Ia pasti akan
lebih cepat sampai di bandara karena orang-orang akan memberi jalan begitu
mendengar bunyi sirine. Seperti bertahun-tahun lalu ketika ambulance melesat cepat membawanya melewati jalanan yang ramai,
menyingkirkan mobil-mobil pribadi yang memenuhi jalan. Jun tersenyum getir.
Peristiwa itu begitu menancap di ingatannya seolah baru terjadi kemarin. Jun
menutup matanya rapat-rapat. Berharap dengan begitu, semua ingatannya akan
hilang. Ia melempar teleponnya pelan ke atas sofa dan bersiap menjemput
kakaknya.
***
“Haa, akhirnya sampai
jugaaa.” Ange meregangkan tangannya tinggi-tinggi ke atas begitu sampai di
depan rumah, membiarkan Jun mengangkat semua barangnya dengan muka kecut. Ange
melangkah ke dalam. Dilihatnya setiap sudut rumah begitu rapi kecuali ruang
tamu dan dapur. Ange melongok kemudian termenung
di depan kamar Jun.
“Jangan buka-buka kamar orang
sembarangan” Jun tiba-tiba muncul dari belakang Ange dan menutup pintu kamarnya
cepat.
“Kenapa? Apa ada barang-barang
19+ disana?” goda Ange. Jun hanya melengos dan melangkahkan kaki ke ruang tamu.
“Aku lapaar” rengek Ange sembari
duduk di samping Jun. Jun menatapnya dengan tatapan malas.
“Kakak sedang makan ketika aku
sampai di bandara” katanya datar. Ange mengacuhkan perkataan adiknya, matanya
menelusuri satu persatu brosur makanan yang tersebar di meja. “Jun mau makan
apa?” tanya Ange. Jun hanya menggeleng. “Okee, awas kalau nanti minta
bagianku.” Ange bangkit dari sofa bersiap pergi. Jun memandangnya heran.
“Nggak delivery?” tanyanya. Ange hanya menjawab pertanyaan Jun dengan
tatapan dan senyum seadanya. Jun langsung paham tujuan Ange sebenarnya. Ia pun
memilih menyibukkan diri dengan televisi yang sedari tadi menyala.
“Kakak pergi dulu” pamit Ange
sembari mengacak rambut Jun sayang.
“Hemm”
***
“Hei Jun, ayo kita pergi. Aku sudah lama tidak ke taman hiburan. Ayo bawa aku ke taman hiburan paling bagus saat ini”
“Apa yang kau lakukan pada anakku?”
Jun
memandang awan yang nampak di luar jendela dengan tatapan kosong. Di saat
seperti ini ia merasa bahwa memiliki ingatan yang sangat baik adalah musibah.
Jun melengos sebelum kemudian mengalihkan pandangannya ke buku yang terbuka di
atas meja. Buku Ange yang diwariskan padanya. Buku kedokteran. Buku impiannya.
Tapi impiannya sekarang sudah tidak ada artinya. Jun menenggelamkan wajahnya ke
dalam kedua tangannya. Aah, kenapa bukan
aku yang mati? Dasar sial.
0 comments:
Posting Komentar