Ange memandang
bangunan di depannya. Sudah dua tahun lamanya dia tidak mengunjungi bangunan
ini dan tidak ada yang berubah. Ia melangkahkan kaki menuju tempat yang ia
hafal betul. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menyapanya dengan senyuman
simpul yang Ange jawab dengan anggukan kecil dan senyum seadanya. Langkah Ange
terhenti ketika ia melihat seseorang di taman. Ia pun membelokkan langkahnya ke
arah taman.
“Mama…” bisik Ange pelan di sebelah orang tersebut. Mama Ange menoleh pelan.
“Kakak…” katanya lirih sembari menggerakkan tangannya pelan meraih Ange. Ange tersenyum dan menyambut tangan Mamanya sebelum memeluknya.
“Mama ngapain disini?” tanya Ange setelah menempatkan diri duduk di sebelah Mamanya.
“Ngawasin Ken main” jawab Mama Ange sambil menunjuk ke kejauhan. Ange terdiam.
“Mama, Ken sudah..”
“Mbak Ange!” Ange menghentikan kalimatnya ketika seorang suster datang dengan tergopoh-gopoh. Ange bingung sesaat melihat wajah panik suster itu sebelum kemudian menyadari kesalahannya. Kalimatnya barusan akan membuat Mamanya histeris kalau ia teruskan.
“Mama, ayo masuk ke kamar, sudah waktunya tidur” si suster mendampingi Mama Ange menuju kamar.
“Ken…” Mama Ange menoleh ke tempat yang tadi ia tunjuk.
“Ken sudah ke kamar duluan bu” jawaban si suster membuat Mama Ange berhenti menoleh dan segera melangkahkan kakinya. Ange mengepalkan tangannya ketika melihat Mamanya menjauh dan membalikkan badannya untuk pergi dari tempat itu. Ia harus segera pergi sebelum amarahnya meledak.
“Mama…” bisik Ange pelan di sebelah orang tersebut. Mama Ange menoleh pelan.
“Kakak…” katanya lirih sembari menggerakkan tangannya pelan meraih Ange. Ange tersenyum dan menyambut tangan Mamanya sebelum memeluknya.
“Mama ngapain disini?” tanya Ange setelah menempatkan diri duduk di sebelah Mamanya.
“Ngawasin Ken main” jawab Mama Ange sambil menunjuk ke kejauhan. Ange terdiam.
“Mama, Ken sudah..”
“Mbak Ange!” Ange menghentikan kalimatnya ketika seorang suster datang dengan tergopoh-gopoh. Ange bingung sesaat melihat wajah panik suster itu sebelum kemudian menyadari kesalahannya. Kalimatnya barusan akan membuat Mamanya histeris kalau ia teruskan.
“Mama, ayo masuk ke kamar, sudah waktunya tidur” si suster mendampingi Mama Ange menuju kamar.
“Ken…” Mama Ange menoleh ke tempat yang tadi ia tunjuk.
“Ken sudah ke kamar duluan bu” jawaban si suster membuat Mama Ange berhenti menoleh dan segera melangkahkan kakinya. Ange mengepalkan tangannya ketika melihat Mamanya menjauh dan membalikkan badannya untuk pergi dari tempat itu. Ia harus segera pergi sebelum amarahnya meledak.
***
“Juuunnn, kakak beliin es krim strawberry kesukaanmu niih” seruan Ange yang begitu tiba-tiba dan dengan suara kencang membuat Jun terduduk kaget. Ange juga ikut terkejut melihat cara Jun bangun seakan rumah Jun sedang disatronin maling. “Eh, maaf Jun, kakak nggak tau kamu tidur” Ange meringis bersalah sementara Jun berusaha menenangkan dirinya. Keringat dingin menetes dari dahi Jun. Ange menelan ludah.
“Jun, kamu…” Ange mendekatkan
tangannya ke wajah Jun hanya untuk ditepis keras. Ange memandang tangannya yang
baru saja ditepis Jun.
“Aku nggak papa” kata Jun
sedikit terengah. Ange memandang adiknya dan tanpa sadar mengepalkan tangannya.
“Jun,” Ange terdiam sesaat.
“Kamu ingat pertanyaan kakak saat ulang tahunmu yang ke 15?” Jun menjawab
pertanyaan itu dengan wajah berkerut. Tak paham kenapa kakanya malah ngoceh
nggak karuan.
Jun
semakin tak menerti arah pembicaraan Ange meskipun ia ingat kejadian 5 tahun
yang lalu itu. Ange berjongkok di depan Jun. “Jun, maaf karena waktu itu kakak
tidak bisa memberikan apa yang kamu mau. Kalau kamu mau, kakak akan meberikan
kado itu sekarang” kata Ange sambil menatap Jun lurus. Jun masih tidak paham
maksud Ange.
“Kakak
akan menghapus ingatanmu kalau kamu mau” sekujur tubuh Jun menegang mendengar
perkataan Ange. “Kakak..” Ange berhenti bicara ketika merasakan tangan Jun
mencengkeram tangannya.
“Lakukan
kak” pandangan mata Jun sama kerasnya dengan cengkeramannya di tangan Ange.
“Tapi
Jun, kamu..”
“Lakukan kak” Jun tidak mau ditawar. “Aku benci ingatan ini. Rasanya seperti hidup tapi mati kak” setetes air mata Jun terjatuh membasahi celananya. “Kenapa bukan aku yang mati kak...” Jun benar-benar menangis kali ini. Ange merasakan air mata juga mengaliri pipinya.
“Tapi
kamu harus ingat Jun, mungkin suatu saat nanti kamu akan mengingatnya lagi.
Ketika saat itu datang, mungkin ingatan itu akan jauh lebih menyakitkan.” Jun
tidak bereaksi atas perkataan Ange. “Dan kakak tidak akan berbohong untuk
apapun Jun, bahkan untuk mencegah ingatanmu kembali” Jun mengangkat kepalanya
atas kalimat Ange barusan. Ange memandang Jun lurus tanda ia sudah membulatkan
tekad dan tidak akan bisa ditawar. Jun memejamkan mata sebelum mengangguk. Ia
percaya pada Ange. Semua keputusan Ange pasti berdasarkan pertimbangan yang
matang dan Jun harus mendukungnya, sama seperti Ange yang selalu medukung Jun.
Dan pada saat nanti ingatan Jun kembali dan Jun merasa jauh lebih sakit, Jun
yakin Ange akan ada di sisinya, mecoba segala cara untuk menyembuhkan Jun.
“Pejamkan
matamu Jun” Jun menuruti semua perkataan Ange. Pikirannya melayang jauh
melintasi awan. Suara Ange terdengar semakin jauh.
0 comments:
Posting Komentar