Jumat, 18 September 2020

Bukan Mereka, tapi Aku

 "Kamu kan selalu dapat nilai bagus di pelajarannya dan sering diikutkan lomba, dasar murid kesayangan."


"Orang lain itu nggak sesederhana yang kamu pikirkan. Hanya karena kamu nggak ingin mereka salah paham dan menjelaskan semuanya, bukan berarti mereka akan berhenti membicarakanmu."


Aku menghela nafas setelah merenung sejenak. Mungkin sebenarnya selama ini aku bukannya tidak ingin mereka salah paham, tapi aku tidak ingin aku yang salah paham. Aku tidak mengerti tentang psikologi, tapi aku merasa bahwa jika terlalu sering mendengar sesuatu, maka entah kenapa aku akan mempercayainya. Bukan masalah jika memang itu adalah kebenarannya, tetapi kalau itu salah dan merugikan pihak lain, itu akan jadi melelahkan. Melelahkan, karena akan ada kekecewaan yang timbul karena apa yang selama ini dipercaya bukanlah suatu kenyataan. Pada akhirnya, yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan diri sendiri hanyalah menata ulang hati dan pikiran setiap kali orang lain memberikan komentar maupun ide yang tidak diketahui kebenarannya, karena yang paling penting adalah menyelamatkan diri sendiri. Menyelamatkan diri sendiri dari potensi kekecewaan dan ketidak bahagiaan.


Bukan mereka yang harus tahu kebenarannya, tapi aku yang tidak boleh salah paham.

Jumat, 28 November 2014

Memories : Just Erase It!

Ange memandang bangunan di depannya. Sudah dua tahun lamanya dia tidak mengunjungi bangunan ini dan tidak ada yang berubah. Ia melangkahkan kaki menuju tempat yang ia hafal betul. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menyapanya dengan senyuman simpul yang Ange jawab dengan anggukan kecil dan senyum seadanya. Langkah Ange terhenti ketika ia melihat seseorang di taman. Ia pun membelokkan langkahnya ke arah taman. 

“Mama…” bisik Ange pelan di sebelah orang tersebut. Mama Ange menoleh pelan.

“Kakak…” katanya lirih sembari menggerakkan tangannya pelan meraih Ange. Ange tersenyum dan menyambut tangan Mamanya sebelum memeluknya.

“Mama ngapain disini?” tanya Ange setelah menempatkan diri duduk di sebelah Mamanya.

“Ngawasin Ken main” jawab Mama Ange sambil menunjuk ke kejauhan. Ange terdiam.

“Mama, Ken sudah..”

“Mbak Ange!” Ange menghentikan kalimatnya ketika seorang suster datang dengan tergopoh-gopoh. Ange bingung sesaat melihat wajah panik suster itu sebelum kemudian menyadari kesalahannya. Kalimatnya barusan akan membuat Mamanya histeris kalau ia teruskan.

“Mama, ayo masuk ke kamar, sudah waktunya tidur” si suster mendampingi Mama Ange menuju kamar.

“Ken…” Mama Ange menoleh ke tempat yang tadi ia tunjuk.

“Ken sudah ke kamar duluan bu” jawaban si suster membuat Mama Ange berhenti menoleh dan segera melangkahkan kakinya. Ange mengepalkan tangannya ketika melihat Mamanya menjauh dan membalikkan badannya untuk pergi dari tempat itu. Ia harus segera pergi sebelum amarahnya meledak.

***

“Juuunnn, kakak beliin es krim strawberry kesukaanmu niih” seruan Ange yang begitu tiba-tiba dan dengan suara kencang membuat Jun terduduk kaget. Ange juga ikut terkejut melihat cara Jun bangun seakan rumah Jun sedang disatronin maling. “Eh, maaf Jun, kakak nggak tau kamu tidur” Ange meringis bersalah sementara Jun berusaha menenangkan dirinya. Keringat dingin menetes dari dahi Jun. Ange menelan ludah. 

“Jun, kamu…” Ange mendekatkan tangannya ke wajah Jun hanya untuk ditepis keras. Ange memandang tangannya yang baru saja ditepis Jun. 

 “Aku nggak papa” kata Jun sedikit terengah. Ange memandang adiknya dan tanpa sadar mengepalkan tangannya. 

 “Jun,” Ange terdiam sesaat. “Kamu ingat pertanyaan kakak saat ulang tahunmu yang ke 15?” Jun menjawab pertanyaan itu dengan wajah berkerut. Tak paham kenapa kakanya malah ngoceh nggak karuan.

“Apa ada yang kau inginkan? Aku akan memberikannya untukmu.”

“Aku ingin ingatanku hilang” 

Jun semakin tak menerti arah pembicaraan Ange meskipun ia ingat kejadian 5 tahun yang lalu itu. Ange berjongkok di depan Jun. “Jun, maaf karena waktu itu kakak tidak bisa memberikan apa yang kamu mau. Kalau kamu mau, kakak akan meberikan kado itu sekarang” kata Ange sambil menatap Jun lurus. Jun masih tidak paham maksud Ange.

“Kakak akan menghapus ingatanmu kalau kamu mau” sekujur tubuh Jun menegang mendengar perkataan Ange. “Kakak..” Ange berhenti bicara ketika merasakan tangan Jun mencengkeram tangannya.

“Lakukan kak” pandangan mata Jun sama kerasnya dengan cengkeramannya di tangan Ange.

“Tapi Jun, kamu..”

“Lakukan kak” Jun tidak mau ditawar. “Aku benci ingatan ini. Rasanya seperti hidup tapi mati kak” setetes air mata Jun terjatuh membasahi celananya. “Kenapa bukan aku yang mati kak...” Jun benar-benar menangis kali ini. Ange merasakan air mata juga mengaliri pipinya.

“Tapi kamu harus ingat Jun, mungkin suatu saat nanti kamu akan mengingatnya lagi. Ketika saat itu datang, mungkin ingatan itu akan jauh lebih menyakitkan.” Jun tidak bereaksi atas perkataan Ange. “Dan kakak tidak akan berbohong untuk apapun Jun, bahkan untuk mencegah ingatanmu kembali” Jun mengangkat kepalanya atas kalimat Ange barusan. Ange memandang Jun lurus tanda ia sudah membulatkan tekad dan tidak akan bisa ditawar. Jun memejamkan mata sebelum mengangguk. Ia percaya pada Ange. Semua keputusan Ange pasti berdasarkan pertimbangan yang matang dan Jun harus mendukungnya, sama seperti Ange yang selalu medukung Jun. Dan pada saat nanti ingatan Jun kembali dan Jun merasa jauh lebih sakit, Jun yakin Ange akan ada di sisinya, mecoba segala cara untuk menyembuhkan Jun.

“Pejamkan matamu Jun” Jun menuruti semua perkataan Ange. Pikirannya melayang jauh melintasi awan. Suara Ange terdengar semakin jauh.

Memories : I Hate It!


“Apa ada yang kau inginkan? Aku akan memberikannya untukmu.” 

Jun terbangun dari tidurnya. Ia menatap sekeliling ruang tamu tempat ia tidur dan terdiam. Hari ini pun tidak ada yang berubah. Tidak kondisi ruang tamu, tidak mimpinya, tidak juga ingatannya. Jun bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Meskipun ia tahu air hanya akan memberinya kesegaran sesaat, tapi itu akan sedikit mengurangi efek dari mimpinya. Jun menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi yang sudah tidak berbentuk. Tangannya bergerak melepas cermin dari dinding dan melemparkannya ke tempat sampah.

Telepon genggam Jun berdering tepat saat ia keluar dari kamar mandi. Ia tidak repot-repot melihat siapa yang meneleponnya karena hanya ada satu orang di dunia ini yang tahu nomornya. Orang lain akan diberinya nomor telepon palsu atau ia menyuruh mereka menghubunginya lewat email bila ada hal penting. 

“Juun, kenapa lama sekalii?” suara cempreng si penelepon membuat Jun merasa ia sedang mendengar suara kembang api. “Kakak sudah bosan menunggu di siniii” rengek kakak Jun dari kejauhan.

Jun melengos. “Pesawat kakak baru saja sampai 2 menit lalu, bagaimana mungkin bisa bosan?”

“Cepat ke sini Jun, kalau tidak kakak akan menelepon pemadam kebakaran agar mereka menjemputmu dan membawamu ke sini.” Sahut kakaknya mengabaikan pertanyaan Jun.

Jun mengernyit. Ide menelepon pemadam kebakaran itu tidak buruk juga. Ia pasti akan lebih cepat sampai di bandara karena orang-orang akan memberi jalan begitu mendengar bunyi sirine. Seperti bertahun-tahun lalu ketika ambulance melesat cepat membawanya melewati jalanan yang ramai, menyingkirkan mobil-mobil pribadi yang memenuhi jalan. Jun tersenyum getir. Peristiwa itu begitu menancap di ingatannya seolah baru terjadi kemarin. Jun menutup matanya rapat-rapat. Berharap dengan begitu, semua ingatannya akan hilang. Ia melempar teleponnya pelan ke atas sofa dan bersiap menjemput kakaknya.

***

“Haa, akhirnya sampai jugaaa.” Ange meregangkan tangannya tinggi-tinggi ke atas begitu sampai di depan rumah, membiarkan Jun mengangkat semua barangnya dengan muka kecut. Ange melangkah ke dalam. Dilihatnya setiap sudut rumah begitu rapi kecuali ruang tamu  dan dapur. Ange melongok kemudian termenung di depan kamar Jun.

“Jangan buka-buka kamar orang sembarangan” Jun tiba-tiba muncul dari belakang Ange dan menutup pintu kamarnya cepat.

“Kenapa? Apa ada barang-barang 19+ disana?” goda Ange. Jun hanya melengos dan melangkahkan kaki ke ruang tamu.

“Aku lapaar” rengek Ange sembari duduk di samping Jun. Jun menatapnya dengan tatapan malas.

“Kakak sedang makan ketika aku sampai di bandara” katanya datar. Ange mengacuhkan perkataan adiknya, matanya menelusuri satu persatu brosur makanan yang tersebar di meja. “Jun mau makan apa?” tanya Ange. Jun hanya menggeleng. “Okee, awas kalau nanti minta bagianku.” Ange bangkit dari sofa bersiap pergi. Jun memandangnya heran.

“Nggak delivery?” tanyanya. Ange hanya menjawab pertanyaan Jun dengan tatapan dan senyum seadanya. Jun langsung paham tujuan Ange sebenarnya. Ia pun memilih menyibukkan diri dengan televisi yang sedari tadi menyala.

“Kakak pergi dulu” pamit Ange sembari mengacak rambut Jun sayang.

“Hemm”

***

“Hei Jun, ayo kita pergi. Aku sudah lama tidak ke taman hiburan. Ayo bawa aku ke taman hiburan paling bagus saat ini”

“Apa yang kau lakukan pada anakku?”
               
Jun memandang awan yang nampak di luar jendela dengan tatapan kosong. Di saat seperti ini ia merasa bahwa memiliki ingatan yang sangat baik adalah musibah. Jun melengos sebelum kemudian mengalihkan pandangannya ke buku yang terbuka di atas meja. Buku Ange yang diwariskan padanya. Buku kedokteran. Buku impiannya. Tapi impiannya sekarang sudah tidak ada artinya. Jun menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua tangannya. Aah, kenapa bukan aku yang mati? Dasar sial.

Minggu, 15 Juni 2014

Selamat Ulang Tahun

Dirga memerhatikan Tirta yang sedang mengutak-atik hpnya. Bukan, bukan hp Tirta sendiri tapi hp Dirga. Padahal Dirga ke rumah Tirta karena mereka mau kerja kelompok tapi Tirta malah sibuk dengan hp orang.

“Ngapain sih?” tanya Dirga. Tirta tidak menjawab pertanyaan Dirga dan menyodorkan hp itu ke Dirga. Dirga mengernyit tak paham sementara Tirta mulai menarik bukunya mendekat bersiap mengerjakan tugas.

 ***

Kejadian kemarin terlupakan begitu saja oleh Dirga sampai hpnya berbunyi saat ia sedang browsing. Seluruh tugas untuk minggu depan sudah ia kerjakan bersama Tirta kemarin jadi hari Sabtu ini dia bisa bermalas-malasan. Dirga mengulurkan tangannya mengambil hp di sisi lain meja. Matanya terbelalak begitu melihat pesan masuk. Dia bergegas mencari sebuah nama pada daftar kontaknya dan bergegas menelepon.

“Kemarin kamu kirim sms apa hah?!” Dirga langsung menyemburkan kemarahan begitu Tirta mengangkat telepon. Tirta diseberang sana menjauhkan telinganya dari layar hp.

“Sms apa?” Tirta malah balik nanya membuat Dirga semakin kesal.

“Aargh. Ke sini kamu sekarang! sekaraaanggg!!” Dirga mengakhiri pembicaraan dan berlari ke depan rumah. Menunggu Tirta untuk datang. Tak sampai semenit Dirga sudah melihat batang hidung Tirta keluar dari rumahnya yang terletak tepat di sebelah Dirga. Dirga yang tak sabar melengkahkan kakinya lebar-lebar menghampiri Tirta.

“Gara-gara kamuu” Dirga menggeram sambil mengacungkan hpnya ke muka Tirta. Tirta memerhatikan layar hp di depannya dengan seksama.

“Ah” ujar Tirta pelan.

“Apanya yang ah. Kamu harus tanggung jawab” Dirga mulai bisa mengendalikan emosinya walau ia cukup sebal dengan respon Tirta yang terlalu datar.

“Tanggung jawab gimana?” tanya Tirta cengok.

“Gimana kek, masa aku harus dateng ke pesta ulang tahun hari libur gini”

“Pesta ulang tahun emang biasanya waktu libur kali Dir” Tirta menjawab santai sambil melangkah masuk ke rumah Dirga. Malu juga diliatin orang berdebat di depan rumah.

“Males Tiir” Dirga mulai merajuk kayak anak kecil.

“Ya udah nggak usah dateng. Tante kemana?”

“Kan lagi pergi ama Ibumu, dasar anak nggak perhatian sama orang tua. Masa udah diundang nggak dateng?” Tirta Cuma bisa menggeleng melihat kelakuan Dirga.

“Ya udah, kalo mau dateng ya dateng aja” Jawab Tirta enteng sambil memasukkan keripik ubi ke mulutnya. Hmm, terlalu manis.

“Belom beli kado”

“Sana beli” Tirta menjamah lidah kucing.

“Kamu harus tanggung jawab nemenin” Dirga menyodorkan air putih dingin yang disambut Tirta dengan sukacita.

“Mau beli apa?” pertanyaan Tirta dijawab dengan gelengan oleh Dirga. “Gimana siiih?” Tirta mau nggak mau senewen juga ngeliat kelakuan Dirga yang kayak ABG labil.

“Kamu sih pake ngirim ucapan selamat ulang tahun segala pake hpku” Dirga menyalahkan Tirta lagi.

“Ya udah bilang aja kalo yang ngirim sms aku, repot amat sih” Hmm, cookies cokelat bikinan tante emang nomer satu. Sementara Tirta menyibukkan diri dengan camilan untuk tamu, Dirga mengetikkan sesuatu dengan cepat di hpnya sebelum menjatuhkan diri di sofa dan meraih toples mente. “Emang Tante sama Ibu kemana?” Tirta masih penasaran kemana dua sahabat karib itu pergi. Dirga mengangkat bahu, Tirta mencibir Dirga ang ternyata sama tidak perhatiannya dengan dirinya. Hp Dirga berbunyi tak lama kemudian.

“Dia malah ngundang kamu sekalian” Ujar Dirga lemas. Tirta melotot. Matanya jadi sebesar nastar di tangannya.

“Dirga bego” gantian Dirga yang melotot ke arah Tirta. Ini semua kan gara-gara Tirta mengirim ucapan selamat ulang tahun pake hp Dirga, kenapa Dirga yang salah?

“Kamu yang bego, ngapain ngucapin ulang tahun pake hp orang” Dirga masih melotot ke arah Tirta.

“Aku nggak punya nomernya” yang dipelototin malah asik nyobain pastel abon.

“Kayak nggak punya facebook aja” Tirta menanggapi ucapan Dirga barusan dengan tatapan emang-nggak-punya yang membuat Dirga melengos. Lupa kalo Tirta ini makhluk anti sosial media. “Ya udah nggak usah ngucapin aja kalo gitu”

“Emangnya kamu nggak seneng kalo ada yang ngucapin selamat ulang tahun ke kamu?” jawab Tirta sambil menatap Dirga lurus tanda kalo dia nggak ingin didebat.

“Pake hpmu sendiri dong harusnya” Dirga tetep nggak mau kalah.

“Aku nggak punya nomernya” kali ini Tirta mendekap erat keripik pisang. Benar juga, orang yang mereka debatkan ini adalah teman semasa SD Tirta yang kebetulan satu SMP dengan Dirga dan waktu SD Tirta belum punya hp.

“Tinggal minta aja kan terus baru ngucapin” sanggah Dirga.

“Males kalo ntar jawabnya, ‘makasih, tapi ini siapa ya’” Tirta ngeles.

“Ya udah nggak usah ngucapin” Dirga kembali pada kesimpulannya yang kembali dijawab Tirta dengan tatapan lurus. Dirga melengos. Percuma melawan TIrta yang tidak ingin didebat.

“Kenapa sih harus ngucapin selamat ulang tahun?” tanya Dirga setelah otot-ototnya mulai kendur. “Selain biar dia seneng” sahut Dirga cepat melihat gelagat Tirta yang akan menjawabnya dengan jawaban sebelumnya. “Toh dia mungkin nggak inget kamu”

“Menurutmu ucapan selamat ulang tahun itu apa?” Tirta bertanya tanpa melihat Dirga. Matanya asik menelusuri satu persatu stasiun tv untuk menemukan acara yang bagus.

“Apa? Ucapan ya ucapan”

“Menurutku ucapan selamat ulang tahun itu sama dengan ucapan terimakasih karena kamu telah lahir di dunia ini” Dirga bengong mendengar jawaban Tirta. “Apa kamu nggak bahagia ketika ada orang yang berterimakasih atas kehadiranmu di dunia ini? Artinya kamu berarti bagi orang itu, menjadi berarti bagi seseorang itu hal yang membahagiakan kan?”

Dirga berdehem pelan untuk menghentikan kekagetannya akan jawaban Tirta yang di luar dugaan. “Tapi bahkan kamu cuma bilang selamat ulang tahun tanpa menuliskan do’a” serang Dirga lagi.

“Memangnya kamu tahu orang itu maunya apa? Bahkan orang itu sendiri belum tentu tau dia mau apa. Selamat ulang tahun buatku sudah mewakili semuanya. Terimakasih karena telah terlahir di dunia ini. Terimakasih telah mengenalku. Terimakasih, berkat kamu aku yang sekarang ada. Aku harap semua keinginanmu terkabul karena kamu berarti bagiku. Aku berharap kamu sehat selalu. Aku berharap kamu selalu bertemu dengan orang yang baik dan dapat membahagiakanmu karena aku berterimakasih atas kelahiranmu. Begitu kan?” Dirga terdiam lagi. Hanya suara televisi dan mulut Tirta yang tidak berhenti menguyah terdengar di ruang keluarga Dirga sampai mama Dirga muncul.

“Loh, kamu di sini toh Tir” sapa mama Dirga ke Tirta. Tirta hanya meringis seraya berkata, “Halo Tante” dan menutup toples stik balado yang isinya tinggal seperempat. “Darimana Tante?”

“Dari beliin kado buat temen kamu sama Dirga” mama Dirga mengsungkan kantong kertas yang ia bawa. “Nanti kalian mau ke pesta ulang tahunnya kan?” jawaban mama Dirga membuat Tirta dan Dirga bengong.

“Tante tahu kalian pasti lupa kalo dikirimi undangan ulang tahun jadi tadi Tante sama Ibu kamu berinisiatif beli kado biar kalian berdua nggak cari alasan buat nggak berangkat. Rupanya mama Dirga tahu betul tabiat kedua anak ini.

“Eeeh, Ibu ikut beliin kado?” mama Dirga mengangguk atas pertanyaan Tirta.

“Sana kamu cepet pulang, siap-siap. Nanti kalian berangkat jam setengah 7, jangan telat ya” ujar mama Dirga dengan nada yang tidak ingin ditawar sebelum pergi meninggalkan Tirta dan Dirga yang mendadak kehilangan nyawa.

***
“Akhirnya kita tetap ke sini juga” Dirga dan Tirta memandang gedung tempat diselenggarakannya acara ulang tahun. Mereka menarik nafas panjang dan berat. Pasti merepotkan bersosialisasi dengan orang di dalam nanti. Mereka menarik nafas lagi.

“Tir,” Dirga menghentikan tarikan nafas Tirta. “kamu nggak pernah mengucapkan selamat ulang tahun padaku” seru Dirga sambil menatap Tirta dengan pandangan seakan berkata jangan-bilang-kamu-tidak-bersyukur-atas-kelahirannku. Tirta menatap Dirga lurus sebelum mendengus dan kemudian melangkahkan kaki memasuki gedung.

“Oi, Tir! Tiir!!”

Kamis, 24 Oktober 2013

Bayangan

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seekor tikus yang tidak punya kelebihan apa-apa. Ketika seluruh penghuni hutan berpesta dan memamerkan kelebihannya, Si Tikus hanya menjadi penonton saja karena tidak ada yang bisa dia tampilkan. Karena sepanjang tahun hanya menjadi penonton, Si Tikus harus menerima ejekan dari penghuni hutan yang lain. Si Tikus yang merasa malu karena ketidakmampuannya pun kemudian mengasingkan diri ke hutan yang paling dalam dan tidak pernah terlihat lagi menghadiri pesta tahunan.

Suatu ketika, Si Tikus menemukan seekor rubah terluka dan tak sadarkan diri dalam perjalanannya mencari makanan. Si Tikus kemudian membawa rubah itu ke pondoknya dan mengobatinya. Saat Sang Rubah tersadar, Si Tikus tersenyum padanya dan mengatakan bahwa Sang Rubah sebaiknya istirahat lagi karena luka yang ia derita cukup parah. Sang Rubah pun menuruti nasehat Sang Tikus.

Selama beberapa hari Sang Rubah beristirahat dan memulihkan diri di pondok Si Tikus, Si Tikus merasa senang sekali karena ia seperti memiliki teman yang tidak ia punya selama ini, sedangkan Sang Rubah merasa beruntung karena Si Tikus bersedia merawat luka-lukanya dan memperlakukannya dengan sangat baik. Mereka menjadi sangat akrab satu sama lain. Ketika Sang Rubah sudah benar-benar pulih, Sang Rubah menampilkan suatu tarian yang sangat indah di depan Si Tikus sebagai bentuk rasa terimakasihnya. Si Tikus merasa sangat terharu sampai tidak bisa berkata-kata. Sang Rubah kemudian pamit dan berjanji ia akan datang lagi. Si Tikus mengantarnya dengan hati gembira bercampur sedih.

Setelah ditinggalkan Sang Rubah, Si Tikus merasakan kesepian. Ia merasa bahwa ia butuh teman untuk diajak bicara. Si Tikus akhirnya memberanikan diri meninggalkan pondoknya dan menuju ke kota untuk berjalan-jalan sambil berharap ia akan bertemu seseorang yang bersedia menjadi temannya. Sesampainya di kota, Si Tikus menjadi pusat perhatian hewan-hewan lain yang sudah lama tidak melihatnya. Mereka kembali mengolok-olok Si Tikus karena tidak punya bakat dan mengasingkan diri. Si Tikus kembali ke pondoknya dengan hati sangat sedih. Dia mengutuki dirinya yang tidak punya kelebihan apa-apa dan pengecut seperti yang dikatakan hewan-hewan lain. Si Tikus kemudain membadingkan dirinya sendiri dengan Sang Rubah yang sangat anggun dan pandai menari. Si Tikus berandai-andai, bila ia adalah Sang Rubah, ia pasti akan memiliki banyak teman. Bila Si Tikus adalah Sang Rubah, tidak aka nada lagi yang mengejeknya. Bila Si Tikus adalah Sang Rubah, ia dapat pergi ke manapun tanpa ada yang mengejeknya. Si Tikus menyesal kenapa ia tidak dilahirkan sebagai Sang Rubah dan mulai membenci dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Si Tikus mendapati bahwa bayangnnya menghilang. Ia memastikan bahwa saat itu adalah pagi hari, bukan malam hari, dan kenyataan bahwa bayangannya menghilang membuatnya sangat terkejut. Ia tidak pernah tahu bahwa bayangan bisa menghilang. Ia terlalu takut untuk pergi mencari bayangannya dan pada akhirnya memilih mengurung diri di dalam pondok. Ia takut ia akan semakin diejek bila ia tidak sengaja bertemu hewan lain yang kemudian melihatnya tanpa bayangan.

Beberapa hari kemudian Sang Rubah dengan riang gembira datang ke pondok Si Tikus dengan membawa buah tangan. Si Tikus berusaha keras melarang Sang Rubah untuk masuk ke pondoknya tetapi Sang Rubah menolak menuruti nasehat Si Tikus. Dengan berat hati Si TIkus membiarkan Sang Rubah masuk dan melihat keadaannya. Sang Rubah terkejut saat melihat Si Tikus tidak memiliki bayangan, dan lebih terkejut lagi karena Si Tikus tidak berusaha mencari bayangannya yang hilang. Sang Rubah kemudian menyeret Si Tikus untuk pergi menemui Landak Bijak. Si Tikus memohon kepada Sang Rubah untuk melepaskannya dan mebiarkannya hidup tanpa bayangan. Sang Rubah bersikeras mereka harus segera menemukan bayangan Si Tikus.
“Apa kau tidak tahu apa pentingnya bayanganmu? Tidakkah kau sadar bahwa selama ini kau tidak pernah benar-benar sendiri meskipun tidak ada orang lain di sisimu? Bayanganmulah yang selalu menemanimu ke manapun. Bahkan di malam hari, mereka tetap ada di sisimu walau keberadaannya tersamarkan malam. Kalau bayanganmu menghilang, kau akan benar-benar hidup sendiri di pondok kecilmu itu.”
Begitulah Sang Rubah menasehati Si Tikus. Si Tikus terdiam dan semakin membenci dirinya sendiri. Ia merasa bahwa sudah sepantasnya ia tidak memiliki teman, karena bahkan bayangannya saja tidak mau mendampinginya.

Sesampainya di tempat Landak Bijak, Sang Rubah menjelaskan masalah Si Tikus sementara Si Tikus sendiri hanya diam. Landak Bijak menanyakan beberapa hal pada Si Tikus kemudian berkata,
“Kau harus belajar mencintai dirimu sendiri. Bayanganmu pergi mungkin karena kau terlalu sibuk mengutuk dirimu sendiri dan tidak pernah memerdulikannya. Mungkin ia memilih menjadi bayangan hewan lain yang kau kagumi karena ia ingin kau memerhatikannya seperti kau memerhatikanhewan itu, atau ia hanya menunggu saat dimana kau menyadari bahwa kau memiliki kelebihan dan belajar mencintai dirimu sendiri. ”
Si Tikus terdiam mendengar ucapan Landak Bijak, begitu pula Sang Rubah. Setelah mengucapkan terimakasih, mereka berdua berpamitan kepada Landak Bijak.

Di perjalanan pulang, Sang Rubah berkata bahwa Si Tikus tidak perlu malu terhadap orang lain. Ia berkata bahwa Si Tikus memiliki hati yang luar biasa dan harus bangga karenanya. Sang Rubah mengatakan bahwa bila ia diejek, ia pasti akan marah kepada yang mengejek, bahkan mungkin mendendam. Sang Rubah juga berkata bahwa bila ia bertemu hewan lain yang tidak ia kenal sedang terkapar di tengah jalan, ia mungkin tidak akan menolongnya apalagi menampungnya berhari-hari. Si Tikus menangis terharu mendengar perkataan Sang Rubah. Ia mengucapkan banyak terimakasih karena baru pertama kali ini ada yang memujinya. Sang Rubah tersenyum melihat respon Si Tikus dan berjanji akan menemaninya sampai bayangannya kembali. Sang Rubah juga akan membuat Si Tikus belajar mencintai dirinya sendiri agar bayangannya cepat kembali. Si Tikus mengucapkan terimakasih lagi dan berkata bahwa ia beruntung karena dulu telah menolong Sang Rubah dan Ssang Rubah bersedia menjadi temannya. Betapa terkejutnya Si Tikus saat ia kembali melihat bayangannya setelah menyelesaikan perkataannya. Sang Rubah yang juga terkejut tertawa bersyukur karena bayangan Si Tikus telah kembali, tapi ia melihat bahwa bayangan Si Tikus masih pudar. Ia berkata bahwa bayangan Si Tikus pasti akan semakin tebal seiring rasa cinta Si Tikus pada dirinya sendiri. Si Tikus ikut tersenyum bersama Sang Rubah dan berjanji mulai saat itu, ia akan mencintai dirinya sendiri tanpa memedulikan ejekan orang lain, karena meski tanpa orang lain, ia memiliki bayangan yang akan selalu ada di sampingnya.




inspired by f(x)'s shadow :)
such a nice and sweet song ^w^

Jumat, 02 Agustus 2013

Citra yang Tidak Sempurna : Akhirnya Kita Bertemu

Reta melompat kecil menghindari lubang yang hampir saja membuatnya terperosok. Ingin rasanya ia meneriaki Kay yang tidak memberikan peringatan padanya meski Kay pasti sudah melihat lubang itu, namun mengingat situasi saat ini, Reta menelan teriakannya sekuat tenaga. Tiba-tiba Kay menoleh padanya dan tersenyum jahil. Sengaja, begitulah gerakan mulut yang ditunjukkannya pada Reta sebelum kembali berjalan.

“Gyaaaa!!!!” jerit Reta frustasi.



“Lama tak jumpa” sang pemilik suara tersenyum. Kay hanya menatapnya canggung. Sungguh ia senang sekali karena ia bertemu dengan orang yang bisa memberikannya petunjuk tentang Sena, tapi ia sama sekali lupa nama orang di hadapannya ini. Kay ingat sekali kalau orang di hadapannya ini adalah pramuniaga dari toko kamera yang beberapa hari lalu ia datangi. Dulu Kay dan Sena sering datang ke sana dan saat itu orang inilah yang menjadi pramuniaga. Tapi Kay tidak mungkin memanggilnya dengan ‘Tuan Pramuniaga’ kan? Jadi Kay pun memutuskan untuk mempertahankan pose diamnya. Demi melihat Kay yang sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata dan terus menatapnya dengan pandangan canggung,sang pramuniaga berkata, “Kau lupa namaku ya?” Kay nyengir bersalah.

“Sena selalu memanggilku Len sebagai kependekan dari Lensa, tapi namaku Ben” terangnya. Kay mengangguk, Sena memang kurang ajar, ia suka sekali mengganti nama orang lain menjadi bagian-bagian kamera. Untung saja Kay segera menghajarnya waktu ia berusaha mengganti nama Kay menjadi shutter atau diafragma.

“Sepertinya belakangan ini aku sering melihatmu berdiri di depan toko?” tanya Ben. Kay membenarkan pertanyaan Ben dalam diam. Entah kenapa setiap kali ia ke luar rumah kakinya selalu membawanya ke toko kamera itu. Anehnya kakinya itu selalu berhenti melangkah, tak mau bergerak lebih jauh memasuki toko, jadi Kay hanya memandang toko itu kosong dari seberang jalan.

Ben menghela nafas perlahan. “Maaf, aku selalu kehilangan kesempatan untuk menyapamu. Kau mencari Sena?” Kay tidak bisa menjelaskan kenapa, mungkin karena ekspresi Ben yang mendadak berubah, atau mungkin karena ia tidak siap dengan semuanya, ketakutan terbesarnya akan kenyataan yang buruk, rasanya ia ingin menutup telinganya rapat-rapat saat Ben kemudian duduk di sebelahnya. Kata-kata Ben selanjutnya seolah terbang bersama angin.


Kay berjongkok sembari mencabut beberapa rumput. “Lama tak jumpa” sapanya tanpa menghentikan aktivitasnya. Pandangan mata Kay sekarang beralih pada nisan di hadapannya. Sebuah senyum mengembang di bibirnya. “Dasar bodoh!” pandangan mata Kay mulai kabur. “Memangnya semua ilmumu sudah kau ajarkan sampai kau berani pergi?” suara Kay terdengar parau. Tidak butuh waktu lama sampai pertahanannya rubuh dan ia mulai terisak. Reta hanya berdiri dalam diam, merasakan bulir-bulir hangat turut membasahi pipinya.


“Dia bilang sebelum dia pergi dia harus menemukan orang yang akan meneruskan jejaknya” Kay tertawa jengah. “Dia senang sekali bertemu denganmu, dia bilang semangat belajarmu tinggi dan daya tangkap serta instingmu bagus” Ben terus berbicara. “Dia bilang rasanya dia tidak ingin pergi. Dia ingin terus melihatmu berkembang. Dia bahkan melanjutkan terapi yang sempat ia hentikan.” Ben tersenyum memandang Kay, “Tahu nggak? Sena nggak pernah membiarkan orang lain menyentuh Sintanya kecuali kamu.” Kay menatap Ben dengan pandangan bertanya tapi mulutnya tetap terkunci rapat. Ben mengangguk-angguk, “Aku kaget sekali karena pada akhirnya ia memberikan Sinta padamu. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Tapi waktu kukatakan kekagetanku dia cuma tertawa dan bilang kalau Sinta ada pada orang yang tepat dan Sinta itu tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang sudah kamu berikan padanya”


“Reta..”

“Hmm?” Reta menghapus air mata di pipinya. Dilihatnya Kay tersenyum ke arahnya, juga sudah berhenti menangis.

“Ini Sena, orang yang sudah membuatku tergila-gila pada kamera analog” Kay menarik Reta untuk duduk di sebelahnya. Reta tersenyum. "Sena juga yang ngasih aku si Sinta"

“Jadi kamu orang yang sudah menjadikan Kay manusia analog di zaman modern ini?” tanya Reta dengan nada menyalahkan. Kay tertawa kecil mendengar pertanyaan Reta.

“Terima kasih Sena karena sudah mengajarkanku banyak hal. Seperti yang pernah kamu bilang, kita nggak mungkin menghapus suatu kejadian di masa lalu seberapa pun kita ingin menghapusnya, karena itu, aku juga nggak akan menghapus kenangan tentang kamu. Aku akan mengingatmu seperti rol film yang mengabadikan citra yang kita ambil. Terima kasih Sena, aku sungguh senang bertemu denganmu.” Kay mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan mengeluarkan sebuah foto yang diambilnya setahun lalu. Foto yang pertama kali diambilnya menggunakan kamera analog. Kay perlahan meletakkan foto itu di atas tanah. “Meski citra ini tidak sempurna dan kabur, citramu dalam ingatanku tidak akan pernah kabur.” Kay memberikan senyum terbaiknya sebelum kemudian bangkit diikuti Reta.

“Mau ke mana kita?” tanya Reta sambil bergelayut manja pada Kay. Ia tidak mungkin mengatakannya, tapi ia bangga sekali pada Kay yang begitu tegar menghadapi situasi ini.

“Ke toko Ben, dia bilang Sena meninggalkan alat cuci film dan panduannya untukku di sana. Sena bilang aku harus belajar mencuci filmku sendiri dan menghasilkan banyak foto hebat di masa depan.” Aku pasti akan melebihi kamu Sen! Lihat saja!

Sabtu, 27 Juli 2013

Citra yang Tidak Sempurna : Pertemuan

“Mas, saya mau cari kamera digital, yang paling bagus berapa ya?” Siang itu Kay mengunjungi sebuah toko kamera demi membeli kamera digital yang akan mendongkrak status sosialnya. Bagi Kay, memiliki kamera berarti meningkatkan derajatnya di depan teman-temannya. Cukup sudah ia dihina dina karena hanya memiliki kamera analaog murahan saat darma wisata. Ia sudah menabung semua uang jajannya selama dua tahun dan memutuskan untuk membawa bekal atau menyantap makanan orang lain demi mewujudkan mimpinya yang mulia.

Sang pramuniaga memamerkan beberapa kamera digital mulai dari compact digital sampai professional DSLR. Kay memandang setiap kamera dengan seksama hingga akhirnya menunjuk sebuah kamera DSLR. “Yang ini berapa mas?” sang pramuniaga menyebutkan harga. Kay manggut-manggut setelah mengetahui harganya.

“Yang paling bagus, gampang digunain, nggak gampang rusak dan murah yang mana mas?” Kay memberondong sang pramunaga dengan pertanyaan. Suara tawa terdengar dari sisi kirinya yang kemudian disusul dengan cengiran dari si pramuniaga. Kay menoleh untuk melihat siapa yang sudah berani-beraninya menertawakan dirinya di tengah misi penting ini.

“Mana ada kamera seperti itu? Kalo kamu mau yang seperti itu buat aja sendiri, hahahaa” pria di depan Kay ini terus saja tertawa. Kay memerhatikan orang itu dari atas sampai bawah. Tidak ada yang salah dengan penampilannya, semua tampak normal. Pandangan Kay beralih ke kamera yang dipegang orang itu. Si empunya kamera mengikuti arah pandangan Kay.

“Perkenalkan, namanya Sinta” orang itu mengacungkan kameranya sambil cengar-cengir. Kay melengos dan kembali memfokuskan perhatiannya ke arah kamera-kamera di atas etalase. Ia menjulurkan kepalanya untuk mencari pramuniaga yang malah menghilang di saat penting ini. Tapi sepertinya si orang rese itu masih ingin mengusiknya karena detik berikutnya suaranya kembali terdengar.

“Kenapa kamu mau beli kamera?” Kay menoleh buas ke arah cowok itu. “Buat motret lah!” serunya emosi.

“Kenapa harus cari yang digital? Kamera analog banyak yang murah kan? Hasilnya juga nggak kalah bagus, malah seringnya lebih bagus.” Terangnya sembari mengelap lensa si Sinta.

“Kamera analog kan nggak praktis, harus nyetak foto dulu, mana kalo hasil fotonya jelek nggak bisa langsung dihapus pula. Menuh-menuhin film aja” jawab Kay emosi. Cowok itu malah tersenyum pada Kay.

“Kenapa harus dihapus?” tanyanya. Kay mengerutkan kening.

“Buat apa nyimpen foto yang nggak bagus?” serangnya balik.

“Buat belajar.” Jawab cowok itu mantap. Fay gelagapan. “Sena” lanjutnya. Kay bengong seketika. “Namaku Sena”

“Siapa yang nanya?” Kay kekeuh mempertahankan kesewotannya.

“Namamu?” Sena tidak menggubris kesewotan Kay sama sekali. Kay cuma diam menolak untuk memberikan jawaban. Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bersuara di ruangan itu. Kay menghentak-hentakkan kakinya kesal karena pramuniaga tak kunjung kembali.

“Menurutmu, setelah kita hapus foto yang kita ambil, adegan saat kita mengambil foto itu juga akan ikut terhapus?” lagi-lagi Sena usil itu bersuara. “Walaupun foto yang jelek bisa dihapus, fakta kalau kita pernah mengambil gambar dengan jelek tidak akan pernah ikut terhapus kan? Sama seperti kehidupan ini, seberapa besar pun keinginan kita untuk menghapus kejadian buruk yang sudah terjadi kita nggak akan pernah bisa melakukannya.” Sena terdiam beberapa saat. “Kalau ingat itu, rasanya kamera analog jadi lebih realistis kan?” Kay mati kutu. “Justru karena kita tahu berapa banyak foto jelek yang kita ambil, mahalnya rol film yang harus kita pakai dan proses mencetak yang membutuhkan kehati-hatian ekstra, maka kita akan lebih menghargai hasil karya kita.” Kay terdiam. Sena juga sepertinya tidak ingin melanjutkan percakapan dan sepenuhnya memfokuskan perhatian pada Sintanya. Pramuniaga sudah keluar dari persembunyiannya tapi tatapan Kay masih tertuju pada Sena.




“Kay” suara Kay terdengar parau. Sena menoleh ke arahnya dan tersenyum bersamaan dengan jarinya yang memencet tombol kamera mengabadikan sosok Kay.